Senin, 02 September 2013

RESENSI BUKU 



Oleh : BAGUS PRASETYO


Judul : Biografi Imam Ahmad ibn Hanbal
Penulis : Tariq Suwaidan
Penerbit : Zaman, Jakarta
Cetakan : I, 2012
Tebal : 500 halaman
ISBN : 978-979-024-197-8

Dalam sejarah pemikiran Islam, nama Ahmad bin Hanbal (781-855 M) sudah tidak asing. Selain dikenal sebagai ahli hadis, dia juga dikenal sebagai ahli teologi (kalam) dan jurisprudensi Islam (fikih).

Namanya sejajar dengan tokoh-tokoh jurisprudensi Islam lainnya, seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Imam Syafii. Tiga tokoh ini dikenal punya corak pemikiran fikih yang khas yang disebut dengan mazhab. Ahmad bin Hanbal juga punya mazhab sendiri yang dikenal dengan mazhab Hanbali.

Buku yang ditulis oleh Dr. Tariq Suwaidan, interprener dan pemikir muslim moderat asal Kuwait, ini coba mengetengahkan sosok Ahmad bin Hanbal sebagai tokoh pemikir Islam pada zamannya yang luar biasa.

Poin Menarik

Dia merupakan tokoh yang dihormati banyak orang tapi pada saat yang sama juga tidak disukai penguasa hanya karena berbeda pemikiran. Tidak hanya itu, bahkan Ahmad mendapat perlakuan menyakitkan; dia diteror, ditekan, diintimidasi, bahkan sampai disiksa secara fisik oleh penguasa.

Namun begitu, dia tetap teguh memegang apa yang diyakininya, kokoh dengan pemikirannya. Inilah salah satu poin menarik dari buku ini.

Penguasa yang tidak toleran terhadap keyakinan dan pemikiran Ahmad bin Hanbal yang berbeda itu bernama Khalifah Al-Ma’mun (813-833 M), penguasa dari Dinasti Abbasiyah, pengganti Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M).

Al-Ma’mun ini sosok rasionalis, tertarik dengan pemikiran-pemikiran dari kelompok yang disebut dengan Muktazilah. Berbeda dengan pendahulunya, Harun Al-Rasyid yang skripturalis.

Bahkan, Al-Ma’mun menjadikan pemikiran-pemikiran Muktazilah sebagai mazhab resmi pemerintah. Sebenarnya, kalau sebatas itu, tidak masalah. Namun, masalahnya adalah mazhab tersebut dipaksakan kepada masyarakat melalui kekuasaan.

Masyarakat yang plural dari segi keyakinan dan pemikiran diharuskan mengikuti pemikiran Muktazilah. Penguasa ingin memaksakan satu pemikiran, yakni pemikiran Muktazilah.

Bahkan, untuk memaksakan pemikiran ini jalan kekerasan ditempuh penguasa. Nah, Ahmad bin Hanbal menjadi salah satu korban dalam konteks ini. Dia seorang skripturalis sejati. Apa yang tertera dalam teks Kitab Suci (Al-Quran) atau hadis-hadis Nabi, itulah yang harus diambil apa adanya.

Berbeda dengan kaum rasionalis yang meletakkan teks di bawah rasio. Teks yang bertentangan dengan rasio, berarti teks itu harus disisihkan, bahkan—kalau perlu—dibuang.

Pangkal dari dua kutub pemikiran yang berbeda antara skripturalis dan rasionalis sebetulnya terletak pada bagaimana memahami kedudukan Kitab Suci. Kaum skripturalis menganggap Kitab Suci sebagai kalam atau ucapan Tuhan yang inheren dengan Tuhan, tidak bisa dipisahkan.

Adapun kaum rasionalis menganggap bahwa Kitab Suci itu tidak inheren dengan Tuhan, tapi di luar Tuhan, sehingga tidak identik dengan Tuhan.

Buku ini selain menggambarkan keteguhan seorang Ahmad bin Hanbal juga memberikan pesan betapa berbahayanya jika suatu pemikiran atau keyakinan agama dipaksakan terhadap masyarakat melalui tangan-tangan kekuasaan.

Sebuah keyakinan atau pemikiran setiap orang berbeda, karena landasan epistemologinya tidak sama. Kebebasan berpendapat dan berkeyakinan akan terancam manakala suatu pemikiran keagamaan yang sebetulnya masih multitafsir tapi kemudian dilegalkan menjadi sebuah regulasi atau undang-undang negara yang mengikat dan memaksa semua orang tanpa kecuali. Sejarah Ahmad bin Hanbal menjadi salah satu pelajaran berharga agar tidak terjadi di negeri ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar